Pikiran Rakyat
Senin, 7 Januari 2008
oleh Budi Brahmantyo
Geowisata (geotourism) adalah kosakata yang relatif baru
dalam kepariwisataan nasional. Istilah itu kurang populer dibanding ekowisata
(ecotourism), atau agrowisata misalnya. Namun demikian, di dalam UU No. 9/1990
tentang Kepariwisataan, selain wisata agro, baik ekowisata maupun geowisata
memang tidak disebut-sebut.
Apa itu geowisata atau geotourism? Istilah geotourism muncul
tak lebih tua dari pertengahan 1990-an. Seorang ahli Geologi dari
Buckinghamshire Chilterns University di Inggris bernama Tom Hose diperkirakan
menjadi orang yang pertama aktif memperkenalkan istilah itu. Ia misalnya
menulis di Geological Society pada 1996 suatu makalah berjudul “Geotourism, or can
tourists become casual rock hounds: Geology on your doorstep”.
Apakah wisata yang berkaitan dengan kebumian baru dirintis
sejak tahun 1990-an itu? Tentu saja tidak. Sejak para ilmuwan menjelajah
berbagai tempat di atas Bumi ini, terutama di Abad ke-18, para ahli geologi
sudah terbiasa menggabungkan bussiness and leisure secara bersamaan. Dalam
ekskursi geologi ke lapangan, rombongan geologiawan telah terbiasa menikmati
indahnya pemandangan, keunikan bentang alam dan batuan, asyiknya menyusuri
sungai dan pantai, atau mendaki perbukitan, di samping pekerjaan utamanya
mencatat proses-proses geologis.
Tetapi untuk konsumsi umum, mungkin dapat diperkirakan bahwa
kegiatan geowisata mulai berkembang sejak maraknya para turis beransel
(back-pack tourists) pada 1980-an. Satu makalah yang ditulis oleh Jane James
1993 di sebuah konferensi bertema “Memasyarakatkan Ilmu Kebumian” di
Southampton, Inggris, misalnya, masih menggunakan istilah pariwisata geologis
(geological tourism) alih-alih geotourism.
Tom Hose yang diikuti kawan-kawan geologiawan lainnya di
Eropa jelas-jelas mendasarkan geowisata berbasis kepada geologi. Mulai dari
Eropalah itulah kemudian muncul istilah “taman bumi” (geopark), yaitu kawasan
konservasi yang melindungi peninggalan alamiah objek geologis yang unik,
langka, berharga, menarik, dan penting.
Di bawah jaringan UNESCO, di Eropa sudah terbentuk 21 taman
bumi yang menjadi daya tarik dan tujuan geowisata utama. Di Asia sudah dirintis
oleh Cina yang kemudian diikuti Malaysia. Taman bumi Pulau Langkawi, Malaysia,
sejak 2006 resmi menjadi taman bumi pertama di Asia Tenggara di bawah jaringan
UNESCO. Indonesia yang memiliki banyak keunikan fenomena geologis, tertinggal
jauh dari negeri jiran itu.
Jika Eropa, diikuti Australia, berpijak pada geologi sebagai
basis geowisata, Amerika Serikat sedikit lain. Dengan dukungan Yayasan National
Geographic yang sudah sangat mapan dan terpandang, Asosiasi Industri Perjalanan
Amerika TIA mendefinisikan geowisata sebagai suatu wisata yang memperkenalkan
dan mengembangkan karakteristik geografis objek daya tarik wisata, termasuk
lingkungan, budaya, estetika, pusaka, dan masyarakatnya.
Dengan cakupan yang
luas, geowisata AS dari sisi objek, tak ada bedanya dengan ekowisata. Indonesia
sendiri lebih cenderung mengikuti versi Eropa dan Australia.
Ekowisata
Jika di AS geowisata identik dengan ekowisata, di belahan
benua lain, geowisata ditempatkan sebagian bagian dari wisata alam minat khusus
yang prinsip-prinsipnya mengikuti kaidah-kaidah ekowisata. Geowisata sebagai
bagian dari ekowisata bagaimana pun harus tunduk pada prinsip-prinsip berwisata
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai Kesepakatan Quebec 2002.
Pertemuan Puncak Ekowisata Sedunia yang diselenggarakan di
Quebec, Kanada, pada akhir Mei 2002 itu memuat kesepakatan bahwa pelaksanaan
ekowisata yang memanfaatkan objek kawasan alami yang relatif belum terganggu
dan umumnya dilindungi, harus menjadi alat konservasi dan pembangunan
berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
Kesepakatan Quebec
2002 untuk ekowisata ini diturunkan sebagai kaidah pengembangan wisata alam
alternatif yang harus bercorak mendukung konservasi alam, bersifat edukatif dan
memberi pengetahuan bagi wisatawannya, memberi manfaat ekonomi dan budaya bagi
masyarakat setempat secara berkelanjutan, dan kecil dampak negatifnya pada
lingkungan.
Ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat bukan sebagai
objek, tetapi sebagai pemandu ataupun pelaku utama pengadaan fasilitas yang
sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan, misalnya. Di lain pihak, harus ada
tenaga ahli yang tidak hanya bertindak sebagai pemandu, tetapi sebagai
interpreter yang akan memberikan wawasan ilmu pengetahuan tentang objek
ekowisata.
Di balik itu semua,
manajemen yang baik menjadi kunci keberhasilan aktivitas ekowisata. Seluruhnya
harus dikemas dalam konsep-konsep berwisata yang tetap mengedepankan
kesenangan. Lebih dari itu, pengutamaan keselamatan.
Geowisata Jawa Barat
Jawa Barat telah menyusun sembilan kawasan wisata unggulan
(KWU). Kesembilan KWU itu adalah: 1. Wisata Industri dan Bisnis
Bekasi-Karawang, 2. Agrowisata Purwakarta-Subang, 3. Budaya Pesisir Cirebon, 4.
Alam Pegunungan Puncak, 5. Perkotaan dan Pendidikan Bandung, 6. Kria dan Budaya
Priangan, 7. Ekowisata Palabuhanratu, 8. Rekreasi Pantai Pangandaran, dan 9.
Minat Khusus Jabar Selatan.
Di semua KWU bisa saja berkembang wisata lain yang mungkin
identik. Geowisata bahkan bisa fleksibel untuk beberapa KWU. Daya tariknya
sebenarnya bisa terentang mulai dari laut, pantai, sungai, perbukitan hingga
puncak pegunungan. Geowisata bisa berkembang di Jawa Barat pada KWU 4 sampai 9.
Di luar pembagian KWU, geowisata Jabar dapat dikelompokkan menjadi empat tema,
yaitu gunung api, kars, dataran sungai, dan pantai.
Tetapi tanpa
interpretasi, keseluruhannya memang hanya suatu wisata alam, pasif, dan kering
tak bermakna. Yang diperlukan adalah proaktif mempromosikannya. Kepekaan dan
perhatian terhadap masalah lingkungan di masyarakat Barat/Eropa menjadi
pegangan kita dalam mengelola ekowisata-geowisata.
Ketika kesan bahwa eko-geowisata Indonesia dikelola secara
baik itu tertangkap, informasi langsung tersebar dan selanjutnya kita tinggal
menunggu kedatangan kunjungan berikutnya. Tapi hati-hati, tentu hal yang sama
dengan dampak sebaliknya bisa terjadi jika berkesan buruk dan mengecewakan.***
Penulis, pengajar GL4022 Geowisata di Prodi Teknik Geologi,
ITB dan staf KK Geologi Terapan, FITB, ITB dan anggota KRCB dan IAGI.
No comments:
Post a Comment