menuju seorang geologist

Wednesday 28 November 2012

Endapan Porfiri Grasberg

Abstrak
Tambang Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Tubuh-tubuh bijih terdapat pada dan di sekitar dua tubuh-tubuh instrusi utama batuan beku yaitu monzodiorit Grasberg dan diorit Ertsberg. Batuan-batuan induk untuk tubuh-tubuh bijih tersebut terdiri dari batuan-batuan karbonatan maupun klastik yang diterobos oleh batuan beku berkomposisi monzonitik dan dioritik yang membentuk punggungan bukit dan sisi atas rangkaian Pegunungan Sudirman. Berdasarkan pada analisa petrografi dan mikroskopi bijih terhadap 23 contoh batuan bor inti Grs 37-44, diketahui bahwa endapan bijih yang terbentuk menyebar dan mengisi rongga batuan berupa jalinan urat kuarsa membentuk struktur stockwork, terdapat 3 zonasi alterasi, yaitu: zonasi ubahan kuarsa - K-felspar - biotit (ubahan potasik); epidot-karbonat-serisit (ubahan propilitik) dan gipsum-anhidrit ( ubahan argilik). Paragenesa mineral bijih terdiri dari magnetik, hematit, arsenopirit, sfalerit, pirit, emas, kalkopirit, digenit, bornit, kalkosit dan kovelit dengan kadar yang berkurang dari bagian tengah ke arah luar dari bor inti.
Kata kunci: Grasberg, zonasi alterasi, paragenesis


Endapan Porfiri
Endapan porfiri adalah endapan dengan tonase besar dan kadar rendah hingga sedang yang mineral bijih utamanya secara dominan terkontrol oleh struktur dan secara spasial dan pembentukan berhubungan dengan serial intrusi porfiri felsik hingga intermedier (Kirkham, 1972 dalam Sinclair, 2007). Ukurannya yang besar serta kontrol struktural (contoh: urat, set urat, stockwork, rekahan, dan breksi) membedakan endapan porfiri dengan endapan lain yang mungkin berdekatan. Seperti skarn, urat mesothermal, dan endapan epithermal.
Kandungan metal dari endapan porfiri sangat beragam. Logam-logam seperti Cu, Au, Mo, Ag, Re, Sn, W, Bi, Zn, In, Pb, serta logam-logam PGE bisa hadir dalam sebuah endapan porfiri.
Endapan porfiri terbentuk dalam beragam setting tektonik. Endapan porfiri Cu biasanya terdapat pada zona akar dari stratovolkano andesitik dalam seting busur-kepulauan (island arc) dan busur-benua (continental arc) yang berhubungan dengan subduksi (Mitchell dan Garson, 1972; Sillitoe, 1973, 1988a; Sillitoe dan Bonham, 1984 dalam Sinclair, 2007; gambar 1). Di Arizona Selatan, endapan porfiri Cu dikaitkan dengan batuan granitik yang bertempat dalam setting kontinental, dalam atau sepanjang batas dari kaldera yang sekarang tererosi intensif (Lipman dan Sawyer, 1985 dalam Sinclair, 2007)
Endapan porfiri terbentuk dalam hubungan yang dekat dengan intrusi epizonal dan mesozonal porfiri. Hubungan temporal yang dekat antara aktivitas magmatik dan mineralisasi hidrotermal dalam endapan porfiri diindikasikan oleh adanya intrusi antar-mineral dan breksi yang terbentuk antara atau selama periode mineralisasi (gambar 2).
Pada skala endapan bijih, struktur yang berhubungan dapat menghasilkan variasi dari tipe mineralisasi, termasuk urat, set urat, stockwork, rekahan, crackled zones, dan pipa breksi (gambar 3). Pada endapan porfiri yang besar dan ekonomis, urat yang termineralisasi dan rekahan biasanya memiliki densitas yang sangat tinggi. Orientasi dari struktur mineralisasi dapat dihubungkan dengan lingkungan stress lokal disekitar bagian atas dari pluton atau dapat menunjukkan kondisi stress regional. Ketika struktur mineralisasi tumpang tindih satu-sama-lain dalam sebuah batuan bervolume besar, kombinasi dari struktur mineralisasi individual menghasilkan zona dengan kadar bijih yang lebih tinggi dan karakteristik dari endapan porfiri berukuran besar. Pembagian zona lokasi dari masing-masing struktur yang timbul dari tipe mineralisasi yang berbeda dapat dilihat pada gambar 4.
Alterasi hidrotermal terjadi secara ekstensif dan biasanya mengalami zonasi pada skala endapan dan juga pada urat dan rekahan individual. Pada banyak endapan porfiri, zona alterasi pada skala endapan terdiri dari zona bagian dalam potassic yang dicirikan oleh K-feldspar dan/atau biotit (± amfibol ± magnetit ± anhidrit; gambar 5) dan zona bagian luar alterasi propylitic yang terdiri dari kuarsa, khlorit, epidot, kalsit, dan secara lokal, albit yang berhubungan dengan pirit. Zona alterasi phyllic (kuarsa + serisit + pirit, gambar 5) dan alterasi argilic (kuarsa + ilit + pirit ± kaolinit ± smektit ± montmorillonit ± kalsit) yang dapat menjadi bagian dari pola zonal diantara zona potassic dan propylitic, atau dapat menjadi zona lebih muda berbentuk irregular atau tabular yang menumpuk diatas alterasi lebih tua dan kumpulan sulfida. Zona sulfida ekonomis paling banyak diasosiasikan dengan alterasi potassic. Hubungan spasial dan temporal diantara tipe berbeda dari alterasi ditunjukan secara skematik dalam gambar 6. Sementara zona alterasi dan mineralisasi dari sebuah endapan porfiri dapat dilihat pada gambar 7.
Model umum dari sebuah endapan porfiri diilustrasikan secara skematis dalam gambar 8, yang menunjukkan endapan porfiri Cu yang berhubungan dengan intrusi porfiritik kecil subvolkanik dan dikelilingi oleh zona piritik yang lebih ekstensif. Skala lebih besar dari sistem hidrotermal ditunjukkan oleh endapan tipe peripheral yang berhubungan dengan endapan porfiri termasuk skarn Cu, manto replacement Zn, Pb, Ag, Au dan berbagai macam tipe dari urat logam-dasar dan logam-berharga serta endapan yang terdapat pada breksi.
Namun, model yang paling cocok diaplikasikan untuk endapan porfiri adalah model magmatik-hidrotermal (gambar 9), atau variasi atas model tersebut, dimana dalam model ini metal bijih didapat secara temporal dan pembentukan dari intrusi yang berhubungan. Sistem hidrotermal banyak-fasa berukuran besar dikembangakan didalam dan diatas dari intrusi yang berhubungan dan umumnya berinteraksi dengan fluida hidrotermal (bisa juga dengan air laut) pada bagian atasnya atau sampingnya. Selama tahap penyusutan dari aktivitas hidrotermal, sistem magmatik-hidrotermal runtuh kedalam dan digantikan oleh air yang dominannya berasal dari air meteorik. Redistribusi, dan konsentrasi lebih lanjut dari logam, terjadi pada beberapa endapan selama tahap penyusutan.

Geologi Regional Grassberg
Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport, menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme  di daerah Pegunungan Tengah. Secara umum, umur magmatisme diperkirakan berkurang ke arah selatan dari utara.
Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan Patahan Orogenesa Melanesia Derewo yang berumur Miosen Akhir  sampai Miosen Awal. Magmatisme termuda dan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik   yang dikontrol oleh suatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini. Batuan-Batuan intrusi tersebut menerobos hingga mencapai Kelompok Batugamping New Guinea, dimana endapan porphiri Cu-Au dapat terbentuk seperti Tembagapura dan OK Tedi di Papua Nugini.
Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase. 
Batuan terobosan di Tembagapura berumur 3 juta tahun (McMahon, 1990, data tidak dipublikasikan), sedangkan batuan terbosan OK Tedi berumur Pliosen akhir pada kisaran 2,6 sampai 1,1 juta tahun. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Nabire Bhakti Mining terhadap 5 contoh batuan intrusi di Distrik Komopa menghasilkan  umur antara 2,9 juta tahun sampai 3,9 juta tahun. Selama Pliosen jalur lipatan papua dipengaruhi oleh tipe magma I, suatu tipe magma yang kaya akan komposisi potasium kalk alkali yang menjadi sumber mineralisasi Cu-Au yang bernilai ekonomi di Ersberg dan Ok Tedi. Selama pliosen intrusi pada zona tektonik dispersi di kepala burung terjadi pada bagian pemekaran sepanjang batas graben. Batas graben ini terbentuk sebagai respon dari peningkatan beban tektonik di bagian tepi utara lempeng Australia yang diakibatkan oleh adanya pelenturan dan pengangkatan dari bagian depan cekungan sedimen yang menutupi landasan dari Blok Kemum.    Menurut Smith (1990),   Sebagai akibat  benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen dan mineralisasi dengan tembaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat-tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkirakan terdapat pada lajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg , DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa-Dawagu, Mogo-Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna Paririm Ilaga. Sementara di daerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali Sute.  Sementara itu dengan adanya busur kepulauan gunungapi (Awewa Volkanik Group) yang terdiri dari Waigeo Island (F.Rumai) Batanta Islamd (F.Batanta), Utara Kepala Burung (Mandi & Arfak Volc), Yapen Island (Yapen Volc), Wayland Overhrust (Topo Volc), memungkinkan terdapatnya logam emas dalam bentuk nugget.

Endapan Mineral Grassberg
Tubuh-tubuh bijih terdapat pada dan di sekitar dua tubuh-tubuh instrusi utama batuan beku yaitu monzodiorit Grasberg dan diorit Ertsberg. Batuan-batuan induk untuk tubuh-tubuh bijih tersebut terdiri dari batuan-batuan karbonatan maupun klastik yang diterobos oleh batuan beku berkomposisi monzonitik dan dioritik yang membentuk punggungan bukit dan sisi atas rangkaian Pegunungan Sudirman. Tubuh-tubuh bijih Grasberg dan ESZ, terdapat pada batuan beku sebagai batuan induk, hadir dalam bentuk urat-urat (vein stockworks) dan diseminasi sulfida tembaga yang didominasi oleh mineral chalcopirit dan sejumlah kecil berupa bornit. Tubuh-tubuh bijih yang berinduk pada batuan sedimen terjadi pada batuan ubahan skarn yang kaya akan unsur magnetit dan magnesium serta kalsium, yang mana lokasi keterdapatannya dan orientasinya sangat dikontrol oleh patahan-patahan besar (major faults) dan oleh komposisi kimia batuan-batuan karbonat di sekitar tubuh-tubuh instrusi tersebut. Mineralisasi tembaga pada batuan ubahan skarn tersebut didominasi oleh mineral chalcopirit, akan tetapi konsentrasi setempat dari mineral sulfida bornit yang cukup banyak juga kadang terjadi. Mineral emas terdapat secara merata disemua tubuh bijih dalam jumlah yang beragam. Di beberapa tempat konsentrasinya cukup banyak, kehadirannya jarang bisa dilihat dengan mata telanjang. Konsentrasi emas tersebut lazim terjadi sebagai inklusi di dalam mineral sulfida tembaga, sedangkan pada beberapa tubuh bijih konsentrasi emas berkaitan erat dengan keterdapatan mineral pirit.
Penetitian endapan bijih di daerah Grasberg Tembagapura Irian Jaya yang didasarkan pada analisa petrografi dan mikroskopi bijih terhadap 23 contoh batuan bor inti Grs 37-44. Hasil penelitian menunjukan bahwa endapan bijih yang terbentuk menyebar dan mengisi rongga batuan berupa jalinan urat kuarsa membentuk struktur stockwork. Mineralisasi terutama terbentuk pada batuan induk diorit dengan zonasi ubahan kuarsa - K-felspar - biotit (ubahan potasik); epidot-karbonat-serisit (ubahan propilitik) dan gipsum-anhidrit ( ubahan argilik). Paragenesa mineral bijih terdiri dari magnetik, hematit, arsenopirit, sfalerit, pirit, emas, kalkopirit, digenit, bornit, kalkosit dan kovelit dengan kadar yang berkurang dari bagian tengah ke arah luar dari bor inti. Atas dasar asosiasi mineral tekstur dan struktur bijih serta zonasi ubahan dan data literatur diperkirakan endapan bijih di daerah penelitian merupakan endapan bijih tipe tembaga porfiri yang membawa emas yang terjadi karena pengaruh larutan hidrotermal.
Cebakan bijih tembaga Grasberg terbentuk pada batuan terobosan yang menembus batuan samping batugamping. Mineral sulfida yang terkandung dalam cebakan bijih tembaga porfiri Cu – Au Grasberg, terdiri dari bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), kalkopirit (CuFeS2), digenit (Cu9S5), dan pirit (FeS2). Sedangkan emas (Au) umumnya terdapat sebagai inklusi di dalam mineral sulfida tembaga, dengan konsentrasi emas yang tinggi ditunjukkan oleh kehadiran mineral pirit. Grasberg masih mengandung cadangan sekitar 1.109 juta ton bijih dengan kadar 1,02% Cu, 1,19 ppm Au, dan 3 ppm Ag.
Cebakan porfiri Cu-Au memiliki dimensi besar dengan kadar relatif rendah sehingga penambangan dilakukan secara open pit atas dasar pertimbangan keekonomian. Penambangan bijih dilakukan dengan sistem berjenjang dengan pengelupasan lapisan penutup yang ditujukan agar dapat menahan batuan yang berhamburan saat ada peledakan serta bisa menyediakan ruang gerak yang memadai utuk excavator dan unit pemuat. Penambangan dilakukan dengan cara menggali dan memindahkan material dalam jumlah besar, teknologi yang digunakan juga berteknologi tinggi dan berdaya angkut besar sehingga diperlukan lahan untuk penampungan bijih, limbah tambang, serta ampas pengolahan berupa cebakan yang berdimensi sangat besar dengan kedalaman penambangan disesuaikan dengan sebaran bijih ekonomis yang dapat diambil.
Saat ini Grasberg ditambang dengan metode tambang terbuka. Namun karena bukaan yang semakin dalam, sekitar tahun 2015, cara penambangan akan diubah menjadi tambang bawah tanah. Jika semua terwujud, tambang bawah tanah Grasberg akan menjadi salah satu yang terbesar.

Kesimpulan
Tubuh-tubuh bijih terdapat pada dan di sekitar dua tubuh-tubuh instrusi utama batuan beku yaitu monzodiorit Grasberg dan diorit Ertsberg dengan cebakan bijih tembaga Grasberg terbentuk pada batuan terobosan yang menembus batuan samping batugamping.
Zonasi alterasi terdiri dari kuarsa - K-felspar - biotit (ubahan potasik); epidot-karbonat-serisit (ubahan propilitik) dan gipsum-anhidrit ( ubahan argilik).
Paragenesa mineral bijih terdiri dari magnetik, hematit, arsenopirit, sfalerit, pirit, emas, kalkopirit, digenit, bornit, kalkosit dan kovelit dengan kadar yang berkurang dari bagian tengah ke arah luar dari bor inti.

Daftar Pustaka
Suprapto, Sabtanto J., 2008. Pertambangan Tembaga di Indonesia Raksasa Grasberg dan Batu Hijau. Warta Geologi, Vol. 3 No. 3, hal 5-13.
Pollard J. P. and Taylor R. G. 2012. Paragenesis of the Grasberg Cu–Au deposit, Irian Jaya, Indonesia: Results from Logging Section 13. _, Volume 37, Issue 1, pp 117-136.

Murakami, H., Seo, J. H., Heinrich, C. A. 2010. The Relation Between Cu/Au Ratio and Formation Depth of Porphyry-style Cu–Au ± Mo Deposits. _, Volume 45, Issue 1, pp 11-21.

http://www.oocities.org/west_papua/geo_papua.htm (diakses pada tanggal 19 november 2012)
http://opac.geotek.lipi.go.id/index.php?id=282&p=show_detail (diakses pada 17 november 2012)

Thursday 22 November 2012

STRATIGRAFI ENDAPAN PIROKLASTIK HASIL LETUSAN TAHUN 2010 DI SUNGAI GENDOL, GUNUNG MERAPI, YOGYAKARTA


STRATIGRAFI ENDAPAN PIROKLASTIK HASIL LETUSAN TAHUN 2010 DI SUNGAI GENDOL, GUNUNG MERAPI, YOGYAKARTA




REFERAT
Oleh:
Gempar Gumyadi
12010016




Makalah ini adalah makalah referat yang bertujuan untuk latihan presentasi yang bersumber dari “Proceedings PIT IAGI Yogyakarta 2012 , The 41st IAGI Annual Convention and Exhibition halaman 10-11 dengan judul Sratigraphy of The 2010 Pyroclastic Deposits at Gendol River, Merapi Volcano, Yogyakarta karya Dewi S. Sayudi, S. Bronto, M. Muzani dan Radtya Putra” . Sehingga  buah pikiran yang dituangkan dalam makalah ini hampir seluruhnya merupakan buah pikiran sumber atau referensi.








PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FITB-ITB





ABSTRAK
Pada akhir Oktober dan awal November 2010, letusan Gunung Merapi di Indonesia memproduksi abu, lahar, dan aliran piroklastik. Gunung berapi juga melepas belerang dioksida, gas berwarna yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan  iklim sejuk bumi. Aliran piroklastik pertama terjadi pada 26 Oktober yang mengalir ke sungai Gendol sejauh 7 km dari pusat letusan. Kemudian pada tanggal 3 November, aliran piroklastik terjadi lagi dan mengalir sampai 9 km. Aliran piroklastik yang paling luas terjadi pada tanggal 4 dan 5 November yang mencapai 15 km. Pada saat letusan, kolom erupsi roboh dan menyebabkan terbentuknya lubang yang membuka ke arah selatan, kemudian material piroklastik jatuh ke sungai Gendol. Diantara endapan piroklastik aliran, teramati juga dua lapisan endapan pyroclastic surge, tetapi tidak teramati adanya endapan piroklastik jatuhan berupa debu volkanik karena pada saat erupsi arah angin menuju barat, sehingga debu volkanik jatuh di lereng gunung bagian barat.


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillahirabbil’alamin. Mahasuci Allah atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi literatur Stratigrafi Endapan Piroklastik Hasil Letusan Tahun 2010 di Sungai Gendol, Gunung Merapi, Yogyakarta. Makalah ini disusun sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Referat I (Indonesia).
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran penulisan, penyusunan dan pembuatan makalah ini mulai dari tahap pengumpulan data hingga pencetakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Referat I (Indonesia) , yaitu Bapak Budi Brahmantyo, Ibu Niniek Rina Herdianita, Bapak Aswan, dan Bapak Bambang Priadi yang membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan dan memahami Referat I serta semua pihak yang tak mungkin penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran pembuatan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa studi literatur ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan semakin baik untuk selanjutnya.
            Akhir kata, penulis berharap agar studi literatur ini dapat bermanfaat dan memberikan pengayaan ilmu bagi segenap pembaca. Terima kasih.
Bandung, 7 November 2012
            Penulis



DAFTAR ISI
ABSTRAK........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
    1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
    1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 1
    1.3 Tujuan dan Sasaran................................................................................. 2
    1.4 Metode Pengumpulan Data.................................................................... 2
    1.5 Sistematika Penulisan.............................................................................. 2
BAB II TEORI DASAR.................................................................................. 3
    2.1 Batuan Piroklastik................................................................................... 3
    2.2 Tipe Erupsi Gunung Api......................................................................... 4
    2.3 Tipe Gunung Api.................................................................................... 5
BAB III ERUPSI GUNUNG MERAPI.......................................................... 7
    3.1Tipologi Erupsi......................................................................................... 7
    3.2 Statistik Erupsi Gunung Merapi.............................................................. 7
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 9
   4.1 Kronologi Erupsi Tahun 2010.................................................................. 9
   4.2 Stratigrafi Endapan Piroklastik di Sungai Gendol................................. 10
   4.3 Bahaya Erupsi........................................................................................ 12
BAB V KESIMPULAN................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15
LAMPIRAN................................................................................................... 16


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk gunung api............................................................................... 6
Gambar 2. Statistik erupsi Gunung Merapi antara 1768 – 2010............................ 8
Gambar 3. Citra satelit sekitar Gunung Merapi..................................................... 9
Gambar 4. Sungai Gendol 29 Oktober 2010....................................................... 12
Gambar 5. Sungai Gendol 14 November 2010.................................................... 12



DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ekuivalensi indeks letusan....................................................................... 7



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api yang dianggap paling aktif dan paling berbahaya di Indonesa, aktivitas dari Gunung Merapi acapkali menelan beberapa korban jiwa dan membumihanguskan infrastruktur di daerah setempat. Hal ini salah satunya tidak bisa terlepas karena kurangnya kewaspadaan akan mitigasi bencana alam. Untuk menigkatkaan kewaspadaan dan kesigapan terhadap aktivitas Gunung Merapi, tentunya harus disertai dengan penelitian yang intensif terhadap aktivitas Gunung Merapi tersebut, dengan maksud agar dapat mempelajari pola erupsi yang sering terjadi beserta besarnya bahaya yang akan dihasilkannya. Jika hal itu terlaksana, maka akan mempermudah untuk membuat rencana dalam upaya menghindari bahaya atau resiko yang akan diterima. Salah satu subjek penting yang harus dipelajari untuk mendukung penelitian tersebut adalah stratigrafi dari endapan piroklastiknya.
 Oleh karena itu, penulis mengangkat tema ini karena mengingat pentingnya meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana gunung api, khususnya Gunung Merapi yang menjadi objek pembelajaran kali ini.

1.2  Rumusan Masalah
Makalah referat ini akan membahas beberapa masalah, yaitu:
        Kronologi Erupsi Gunung Merapi tahun 2010;
        Stratigrafi endapan piroklastik di Sungai Gendol hasil letusan Gunung Merapi tahun 2010;
        Bahaya yang ditimbulkan;


1.3  Tujuan
        Untuk mengetahui kronologi erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
        Untuk mengetahui Stratigrafi endapan piroklastik di Sungai Gendol hasil letusan Gunung Merapi tahun 2010.
        Untuk mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat erupsi tahun 2010.

1.4  Metode Pengumpulan Data
Penyusunan makalah ini menggunakan metode studi literatur. Makalah  dengan judul “Stratigrafi Endapan Piroklastik Hasil Letusan Tahun 2010 Di Sungai Gendol, Gunung Merapi, Yogyakarta” ini menggunakan referensi utama dari jurnal yang berjudul “Stratigraphy Of The 2010 Pyroclastic Deposits At Gendol River Merapi Volcano Yogyakarta”. Jurnal tersebut disusun oleh Dewi S. Sayudi, S. Bronto, M. Muzani dan Raditya Putra. Referensi utama ini dimuat dalam Proceeding PIT IAGI Yogyakarta 2012, The 41th IAGI Annual Convention and Exhibition November 2012 : 10-11. Penulis juga menggunakan beberapa literatur lainnya untuk mendukung makalah ini.

1.5  Sistematika Penulisan
Penulisan makalah referat ini terbagi atas lima bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tentang teori dasar yang mendukung isi makalah referat ini, bab ini terdiri dari 3 sub-bab yaitu batuan piroklastik, tipe erupsi gunung api dan tipe gunung api. Bab ketiga yaitu erupsi Gunung Merapi yang terdiri atas Tipologi Erupsi dan Statistik Erupsi Gunung Merapi. Bab keempat adalah pembahasan, berisi Kronologi Erupsi Tahun 2010, Stratigrafi Endapan Piroklastik di Sungai Gendol, dan Bahaya Erupsi. Bab lima yaitu kesimpulan dari isi makalah ini.



BAB II
TEORI DASAR

2.1 Batuan Piroklastik
            Batuan piroklastik adalah batuan volkanik yang bertekstur klastik yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan gunung api, dengan material asal yang berbeda, dimana material penyusun tersebut terendapkan dan terkonsolidasi sebelum mengalami transportasi (“rewarking”) oleh air atau es. (William, 1982; dalam Endarto 2005). Menurut kejadiannya, endapan piroklastik dibedakan menjadi beberapa jenis (Endarto, 2005), yaitu:
1.      Endapan Piroklastik Jatuhan
Endapan piroklastik jatuhan merupakan onggokan piroklastik yang diendapkan melalui udara. Endapan ini dihasilkan dari letusan eksplosif yang melemparkan material-material vulkanik dari lubang vulkanik ke atmosfer dan jatuh ke bawah dan terkumpul di sekitar gunung api. Endapan ini umumnya menipis dan ukuran butir menghalus secara sistimatis menjauhi pusat erupsi, sebaran mengikuti topografi, pemilahannya baik, struktur gradded bedding normal & reverse, komposisi pumis, scoria, abu, sedikit lapili dan fragmen litik, komposisi pumis lebih besar daripada litik.
2.      Endapan Piroklastik Aliran
Endapan piroklastik aliran dihasilkan dari pergerakan lateral di permukaan tanah dari fragmen-fragmen piroklastik yang tertransport dalam matrik fluida (gas atau cairan yang panas) yang dihasilkan oleh erupsi volkanik, material vulkanik ini tertransportasi jauh dari gunung api. Endapan ini umumnya pemilahannya buruk, mungkin menunjukan grading normal fragmen litik dan butiran litik yang padat, yang semakin berkurang menjauhi pusat erupsi, sortasi buruk dan butiran menyudut, sebaran tidak merata dan menebal di bagian lembah. Penyebaran dan bentuk endapan piroklastik aliran sangat dipengaruhi oleh morfologi asal, sebab sifat dari endapan tersebut adalah menutup dan mengisi cekungan. Bagian bawah endapan akan memperlihatkan bentuk morfologi asal, sedang bagian atasnya umumnya datar. Endapan tersebut akan menyebar membentuk cuping kipar (fan-like lobes) pada lereng gunung api, sebagaimana halnya dengan penyebaran lahar. Endapan piroklastik aliran terdiri dari keratin batuan, batu apung, Kristal dan gelas (glass shard) dalam jumlah yang beragam, bergantung pada komposisi magmanya dan sejarah pembentukannya. Pada beberapa endapan, keratan batuan dan Kristal berupa batuan asing (xenolith). Endapan tersebut, baik yang disebabkan oleh letusan maupun guguran kubah atau aliran lava, akan terdiri dari bahan-bahan yang tak berongga (non-vesiculer) hingga batuan yang berongga sebagian atau seluruhnya (Fisher & Schmincke, 1984; dalam Endarto, 2005).
3.      Endapan Pyroclastic Surge
Endapan pyroclastic surge merupakan suatu awan campuran dari bahan padat dan gas (uap air) yang mempunyai rapat massa rendah dan bergerak dengan kecepatan tinggi secara turbulen di atas permukaan. Umumnya endapan ini mempunyai pemilahan yang baik, berbutir halus dan berlapis baik, mempunyai struktur pengendapan primer seperti laminasi dan perlapisan bergelombang hingga planar. Yang paling khas endapan ini adalah mempunyai struktur silang siur, melensa dan bersudut kecil.

2.2 Tipe Erupsi Gunung Api
            Berdasarkan tinggi rendahnya derajat fragmentasi dan luasnya, juga kuat lemahnya letusan serta tinggi tiang asap, maka gunung api dibagi menjadi beberapa tipe erupsi (Volcanological Survey of Indonesia): (1) Tipe Hawaiian, yaitu erupsi eksplosif dari magma basaltik atau mendekati basalt, umumnya berupa semburan lava pijar dan sering diikuti leleran lava secara simultan, terjadi pada celah atau kepundan sederhana; (2) Tipe Strombolian, erupsinya hampir sama dengan Hawaiian berupa semburan lava pijar dari magma yang dangkal, umumnya terjadi pada gunung api sering aktif di tepi benua atau di tengah benua; (3) Tipe Plinian, merupakan erupsi yang sangat ekslposif dari magma berviskositas tinggi atau magma asam, komposisi magma bersifat andesitik sampai riolitik. Material yang dierupsikan berupa batu apung dalam jumlah besar; (4) Tipe Sub Plinian, erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik dari gunung api strato, tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah lava riolitik. Erupsi subplinian dapat menghasilkan pembentukan ignimbrit; (5) Tipe Ultra Plinian, erupsi sangat eksplosif menghasilkan endapan batu apung lebih banyak dan luas dari Plinian biasa; (6) Tipe Vulkanian, erupsi magmatis berkomposisi andesit basaltik sampai dasit, umumnya melontarkan bom-bom vulkanik atau bongkahan di sekitar kawah dan sering disertai bom kerak-roti atau permukaannya retak-retak. Material yang dierupsikan tidak selalu berasal dari magma tetapi bercampur dengan batuan samping berupa litik; (7) Tipe Surtseyan dan Tipe Freatoplinian, kedua tipe tersebut merupakan erupsi yang terjadi pada pulau gunung api, gunung api bawah laut atau gunung api yang berdanau kawah. Surtseyan merupakan erupsi interaksi antara magma basaltik dengan air permukaan atau bawah permukaan, letusannya disebut freatomagmatik. Freatoplinian kejadiannya sama dengan Surtseyan, tetapi magma yang berinteraksi dengan air berkomposisi riolitik.

2.3 Tipe Gunung Api
Berdasarkan bentuknya, gunung api diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu:
1.      Kerucut Piroklastika
Kerucut gunung api yang tersusun atas material piroklastika (bahan-bahan lepas gunung api) berupa bom, lapili, dan abu gunung api. Pada umumnya bentuk gunung api ini memiliki kawah di bagian puncak dan tubuh gunung api tidak terlalu tinggi karena endapan piroklastika yang masih lepas dan mudah tererosi.
2.      Maar
Gunung api berbentuk kerucut terpancung yang memiliki kawah berbentuk mangkuk dengan lebar kawah relatif lebih besar dibandingkan tinggi kawah. Pada umumnya gunung api ini memiliki lereng relatif landai dan kawah yang terisi air membentuk danau kawah. Maar yang terkenal di Indonesia terdapat di G. Lamongan, Jawa Timur.
3.      Gunung Api Kaldera
Suatu gunung api berbentuk kerucut terpancung, dengan lebar kawah berdiameter lebih dari 2 km yang terbentuk sebagai akibat erupsi eksplosi yang dahsyat.
4.      Kubah Lava
Tonjolan batuan lava berbentuk membundar dengan kemiringan lereng relatif sama ke segala arah, yang terbentuk akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Pada umumnya kubah lava terbentuk dari lava yang sangat kental. Besar dan luasnya tergantung pada volume lava dan sifat kekentalan.

5.      Gunung Api Perisai
Gunung api yang tersusun atas perlapisan aliran lava yang sangat encer sebagai hasil erupsi yang berulang. Biasanya bentuk gunung api ini memiliki lereng yang landai. Jarang dijumpai di Indonesia , tetapi sangat umum dijumpai di Kepulauan Hawaii.

6.      Gunung Api Strato atau Campuran
Gunung api berbentuk kerucut atau kerucut terpancung yang tersusun atas perlapisan atau perselingan antara aliran lava dan endapan piroklastika. Bentuk gunung api ini sangat umum dijumpai di Indonesia.
            Berikut adalah gambar dari tipe-tipe gunung api berdasarkan bentuknya.
Gambar 1. Bentuk gunung api.



BAB III
ERUPSI GUNUNG MERAPI

3.1 Tipologi Erupsi
Telah banyak kajian tentang tipologi erupsi Gunung Merapi. Berdasarkan kejadian erupsi yang pernah terjadi, tipe erupsi Merapi ternyata bervariasi sehingga tidak bisa diklasifikasikan ke dalam satu tipe erupsi saja. Berdasarkan keragaman erupsi yang pernah terjadi, Hartmann membuat klasifikasi erupsi Merapi menjadi 4 tipe yaitu tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D (Subandriyo, - ). Berturut-turut berkaitan dengan kualitas letusan yang makin besar, dimana kualitas letusan ditentukan oleh kandungan gas di dalam magma meskipun dijelaskan secara kuantitatif. Para ahli gunung api menyusun kriteria besaran letusan secara lebih kuantitatif berdasarkan jumlah meterial dikeluarkan dan ketinggian kolom letusan yang dinamakan VEI dengan skala 0 – 8.
Tabel 1.  Ekuivalensi indeks letusan dengan tinggi kolom dan volume material (USGS)
           
3.2 Statistik Erupsi Gunung Merapi
Merapi termasuk Gunung api yang paling sering meletus. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658. Kemudian sejarah letusan Gunung Merapi mulai tercatat cukup baik sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah letusan yang lebih rinci dan kronologis baru dimulai pada akhir abad ke-19.
Pada periode Merapi modern telah terjadi beberapa kali letusan besar yaitu abad ke-19 (tahun 1822, 1849, 1872) dan abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 jauh lebih besar dari letusan abad ke-20, dimana awan panas mencapai 20 km dari puncak. Aktivitas Merapi pada abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, dimana letusan terbesar terjadi pada tahun 1931.
Berikut adalah statistik erupsi Gunung Merapi antara 1768-2010 yang menunjukkan grafik indeks letusan terhadap waktu dan grafik selang waktu terhadap waktu kejadian.




Gambar 2. Statistik erupsi Gunung Merapi antara 1768 – 2010. Gambar atas grafik indeks letusan VEI terhadap waktu, sedangkan gambar bawah grafik selang waktu erupsi terhadap tahun kejadian, dimana selang waktu rata-rata.
Sampai tahun 2010, sudah tercatat 84 kali kejadian. Selang waktu letusan berkisar antara 1 – 18 tahun, dengan rata-rata 4 tahun. Apabila dikaitkan dengan indeks letusannya terjadi bisa dibuat kriteria sebagai berikut :
Letusan dengan VEI 1-2, rata-rata terjadi setiap 4 tahun
Letusan dengan VEI 3, berpeluang terjadi setiap 10 – 30 tahun
Letusan dengan VEI 4, berpeluang terjadi setiap 100 – 200 tahun
Letusan dengan VEI 5, berpeluang terjadi setiap 250 – 500 tahun
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Kronologi Erupsi Tahun 2010
            Erupsi letusan Gunung Merapi tahun 2010 terjadi dalam beberapa hari, dimulai pada tanggal 26 dan 30 Oktober, dilanjutkan erupsi hebat pada 3, 4 dan 5 November 2010. Kejadian erupsi Gunung api Merapi tanggal 26 November 2010 adalah siklus 100 tahunan erupsi Merapi yang merupakan siklus yang memiliki erupsi besar dengan luncuran awan panas mencapai 18 km yang melalui alur Kali Gendol (BPPTK, 2011; dalam Petrasawacana, 2011).  Pada 26 Oktober 2010 letusan volkanik melontarkan seluruh material lava dome di kawah, dan sebagai hasilnya material piroklastik jatuh sejauh 7 km di Sungai Gendol. Letusan pada 3 November membentuk aliran piroklastik dari 11:11 sampai 15:00 LT dengan jangkauan maksimum 9 km dari puncak. Akhirnya, letusan pada 4 dan 5 November, aliran piroklastik dan pyroclastic surge menyapu desa-desa di sekitar Sungai Gendol dengan jangkauan 15 km dari puncak. Berikut adalah citra satelit yang menunjukkan aliran piroklastik di sekitar Gunung Merapi yang diambil pada tanggal 15 November 2010.
Gambar 3. Citra satelit sekitar Gunung Merapi.
4.2 Stratigrafi Endapan Piroklastik di Sungai Gendol
Berdasarkan pengamatan di lapangan, di lereng Sungai Gendol ditemukan 4 sikuen piroklastik aliran dan 2 sikuen endapan pyroclastic surge. Beberapa bagian dari endapan piroklastik itu telah tererosi dan terlapisi oleh endapan lahar. Ketebalan endapan piroklastik aliran bervariasi mulai dari 2 m sampai 10 m. sedangkan endapan pyroclastic surge hanya sekitar 50 cm. Karakter dari endapan piroklastik aliran yaitu abu-abu terang sampai coklat susu, tidak mempunyai struktur, pemilahan buruk, matrix supported, masih bersifat material lepas. Umumnya, blocks volkanik dalam endapan piroklastik aliran memperlihatkan matrix supported, namun beberapa diantaranya ada yang grain supported. Arang kayu ditemukan di beberapa tempat. Endapan pyroclastic surge mempunyi warna abu-abu terang, masih bersifat material lepas dengan ukuran butir debu-lapili baik, teramati struktur sedimen seperti cross beds, lapisan bergelombang dan laminasi.
Berdasarkan sifat dan karakteristiknya, endapan piroklastik aliran hasil erupsi Gunung Merapi dibagi menjadi 2 (Petrasawacana, 2011), yaitu:
1.      Endapan piroklastik aliran dengan dominasi fragmen berukuran >  2 meter
Endapan ini mengisi sebagian besar sisi hulu Sungai Gendol  radius < 8 km dari pusat erupsi.  Pada umumnya berwarna abu-abu – merah kecoklatan, sifat material belum terdekomposisikan masih bersifat material lepas tanpa pengikat. Bentuk fragmen subangular – angular, tersortasi buruk, kemas terbuka, memiliki jarak antar fragmen antara 1 – 2 meter, dengan ketebalan endapan 2 – 5 meter disisi lereng dan 20 – 100 meter di dalam lembah alur sungai. Matrik yang belum terdekomposisi berupa andesit, lapili, dan abu halus, berukuran lempung – kerakal (< 1/256 mm – 256 mm) yang didominasi oleh material pasir vulkanik.  Penyebaran di sebelah barat sisi Sungai Gendol dengan radius 350 meter sampai ke Dusun Kaliadem bagian utara, dan sebagian masuk ke hulu Sungai Opak. Penyebaran di sisi sebelah timur dengan radius 150 meter  sampai ke Dusun Singlor dan Dusun Glagah Malang. Endapan ini terbentuk pada kelerengan curam – sangat curam dengan kemiringan lereng lebih dari 45 %, pada morfologi kerucut aktif vulkanik – lereng tengah dengan kondisi sungai yang membentuk lembah U dan V. Distribusi endapannya dipengaruhi oleh alur  sungai yang dilewati guguran kubah lava, pada lembah-lembah yang memiliki pembelokan sungai yang tajam terjadi lompatan piroklastik akibat adanya tekanan luncuran  pada saat kondisi panas.
2.      Endapan piroklastik aliran dengan dominasi fragmen bongkah berukuran <  2  meter
Endapan ini mengisi sebagian kecil sisi hulu, sebagian besar sisi bagian tengah dan sisi bagian bawah Sungai Gendol pada radius 8 – 18 km dari pusat erupsi. Pada umumnya berwarna abu-abu cerah – coklat kehitaman, sifat material belum terdekomposisikan, masih bersifat material lepas tanpa pengikat. Bentuk fragmen subangular – angular, tersortasi buruk, kemas terbuka, memiliki jarak antar fragmen antara 0,5 – 2 meter, dengan ketebalan endapan 2 – 5 meter disisi lereng dan 15 – 100 meter di dalam lembah sungai.  Fragmen didominasi oleh bongkah berukuran 1 – 2  meter terdiri dari batuan andesit dengan struktur kerak roti dan masif. Matrik yang belum terdekomposisi berupa andesit, lapili, dan abu halus, berukuran lempung – kerakal (< 1/256 mm – 256 mm) yang didominasi material pasir  vulkanik. Endapan yang terbentuk pada lereng tengah – lereng kaki dengan kelerengan curam – sedang,  kemiringan lereng  10 – 30 %.  Distribusi endapannya pada lereng tengah dominan ke sebelah barat Sungai Gendol meliputi Dusun Jambu dan Dusun Kaliadem bagian selatan dengan jarak 50 meter dari bibir sungai (LP 19 dan LP 20). Endapan terjauh  terbentuk pada kelerengan landai – sedang dengan kemiringan lereng < 20 %, pada morfologi lereng tengah – lereng kaki dengan kondisi sungai relatif miring – datar. Distribusi endapannya  lebih dominan pada lereng bagian kaki di sisi sebelah timur Sungai Gendol dengan jarak radius 50 – 150 meter sampai ke Desa Wukirsari meliputi Dusun Gondang Pusung bagian timur, Dusun Ngepringan bagian timur dan Dusun Gungan Srodoan bagian timur. Distribusi endapan di sebelah barat Sungai Gendol dengan jarak radius 100 – 200 meter di Desa Argomulyo meliputi Dusun Bronggang bagian barat, Dusun Bakalan bagian barat, Dusun Gadingan bagian barat, Dusun Wonokerso bagian barat dan Dusun Plumbon bagian barat; Desa Glagaharjo meliputi Dusun Ngancar bagian barat.
            Endapan piroklastik aliran di Sungai Gendol disebabkan erupsi Gunung Merapi karena robohnya dome lava dan menyebabkan terbukanya kawah di bagian selatan dan menyebabkan aliran piroklastik menuju Sungai Gendol. Pada saat erupsi, angin menunjukkan arahnya menuju barat, sehingga tidak ditemukan endapan jatuhan debu volkanik di atas endapan piroklastik aliran.
Berikut adalah gambar-gambar Sungai Gendol setelah erupsi Gunung Merapi.




 

Gambar 4. Sungai Gendol 29 Oktober 2010
(Sumber: http://mountmerapi.net)
Gambar 5. Sungai Gendol 14 November 2010
(Sumber: http://mountmerapi.net)

4.3 Bahaya Erupsi
            Bahaya dari erupsi gunung api dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Bahaya Primer
Bahaya primer merupakan bahaya yang ditimbulkan langsung pada saat erupsi gunung api. Bahaya-bahaya tersebut diantaranya aliran lava, aliran piroklastik, awan panas, bahan jatuhan dan gas beracun. Bahaya primer selama letusan Gunung api Merapi terbesar adalah aliran piroklastik. Aliran ini terdiri dari gas vulkanis panas, abu dan batu yang turun dengan cepat dan menerjang dengan kasar. Kecepatan rata-rata jatuhan adalah 150 Km per jam. Aliran Piroklastik ini biasanya diatur oleh sistem medan yaitu menjadi aliran yang kuat jika terfokus pada lembah sungai (terpengaruh gaya gravitasi) dan melebar pada daerah yang lapang. Wilayah kerusakan yang terdampak oleh piroklastik aliran meliputi : Dusun Kaliadem, Dusun Jambu bagian timur, Dusun Kopeng bagian timur Desa Kepuharjo,  Dusun Srodoan dan Dusun Gungang, Desa Wukirsari, Dusun Bronggang, Dusun Bakalan, Dusun Gadingan, Dusun Banaran, Dusun Jiwan, Desa Argomulyo, Dusun Singlar bagian barat, Dusun Glagah Malang bagian barat, Dusun Banjarsari, Dusun Nganclagaharjar, Desa Glagaharjo.
2.      Bahaya Sekunder
Bahaya Sekunder merupakan bahaya tidak langsung yang menyebabkan  dampak lanjutan kegiatan erupsi khususnya banjir lahar dingin. Lahar dingin merupakan aliran sedimen pekat yang terdiri atas batu, kerikil, pasir serta abu vulkanik yang tercampur air. Proses terbentuknya karena material piroklastik yang berguguran di lereng Merapi terkena air hujan sehingga menyebabkan jatuh ke permukaan bumi dan menggulung material permukaan yang dilewatinya. Material gulungan dan piroklastik itu tertransport dan diendapkan di lembah-lembah / sungai, serta mengalir layaknya banjir. Berdasarkan peta zonasi ancaman banjir lahar dingin yang didasarkan pada buffer zone 300 dan 500 meter sepanjang sungai yang hulunya di lereng Gunung Merapi bagian barat hingga tenggara, Sungai Gendol merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam zona banjir lahar dingin.




BAB V
KESIMPULAN

            Erupsi Gnung Merapi Tahun 2010 dimulai pada 26 Oktober kemudian 30 Oktober, sementara itu erupsi hebat terjadi secara berturut-turut pada 3, 4 dan 5 November. Material piroklas sebagian besar jatuh ke Sungai Gendol dengan jangkauan maksimum 15 km dari puncak.
            Di lembah Sungai Gendol terdapat 4 sikuen endapan piroklastik aliran dan 2 sikuen endapan pyroclastic surge tetapi tidak ditemukan endapan piroklastik jatuhan.
            Dengan kecepatan aliran 150 km per jam dengan terdiri dari gas vulkanis panas, abu dan batu, aliran piroklastik merupakan bahaya primer terbesar.












DAFTAR PUSTAKA

Bronto, S., Muzani, M., Putra, R., Sayudi, D. S., 2012. Stratigraphy of The 2010 Pyroclastic Deposits at Gendol River, Merapi Volcano, Yogyakarta. Proceeding PIT IAGI Yogyakarta 2012, The 41st IAGI Annual Convention and Exhiition. Hal 10-11.
Endarto,D., 2005. Pengantar Geologi Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Hal 47-60.
Petrasawacana, 2011. Rekonstruksi Akses dan Kontrol Lahan Terhadap Penghidupan Masyarakat Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010. Penelitian Tesis S2 Ilmu Lingkungan,  Universitas Gadjah Mada. Dipresentasikan Dalam Konfrensi Nasional PRBBK VII di Shelter Gondang I, Desa Wukirsari,  Desember 2011.
Anonim, _ . Pengenalan Gunung api. Volcanological Survey of Indonesia. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Bronto, S., 2006. Fasies Guung Api dan Aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71.
Subandriyo, _ . Sejarah Erupsi Gunung Merapi dan Dampaknya Terhadap Kawasan Borobudur. _ : _.
http://mountmerapi.net. Diakses 7 November 2012 22:45 WIB.
 

 
LAMPIRAN